Go Organic 2010 atau 2010 Organic Go?
Tahun 2000 merupakan tahun penting bagi perkembangan pertanian organik di Indonesia. Pertanian organik yang selama era pemerintahan orde baru “diharamkan”, diterima sebagai agenda baru di sektor pembangunan pertanian. Pemerintah meluncurkan agenda pembangunan pertanian yang disebut “Go Organic 2010” dengan target utama menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen dan pengekspor pangan organik utama di dunia tahun 2010
Investasi yang tidak memadai
Go Organic 2010 lebih mengutamakan pengaturan pasar daripada mengembangkan kapasitas petani berproduksi. Karenanya fokus kebijakan dan program antara lain adalah penetapan Standar Nasional Indonesia untuk Sistem Pangan Organik, Pembentukan Otoritas Kompeten Pertanian Organik, Pedoman Akreditasi Lembaga Sertifikasi organik, Pedoman Lembaga Sertifikasi Pangan Organik, dan Pedoman Umum Pelabelan Produk Organik.
Baru pada bulan September 2009 ada kebijakan peningkatan kapasitas produksi bertani yang cukup memadai. Namun itu juga baru akan dialokasikan pada tahun 2010. Kebijakan tersebut adalah pengalihan anggaran subsidi pupuk kimia sebesar 35,4% atau Rp 6.2 Triliun menjadi subsidi pupuk organik. Kebijakan ini juga sangat berarti karena untuk pertama sekali pemerintah memberikan subsidi pupuk langsung kepada petani setelah sebelumnya sejak zaman orde baru subsidi pupuk selalu diberikan kepada perusahaan pupuk. Subsidi langsung tersebut diberikan dalam bentuk program dukungan pengelolaan pusat prouduksi pupuk organik di 10.000 desa.
Kebijakan ini sangat berarti untuk menjamin ketersedian pupuk organik bagi komunitas secara berkelanjutan dan berpotensi bertambah menurut derek ukur setiap tahunnya.
Namun untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen dan pengekspor pangan organik penting di dunia pada tahun 2010 rasanya sangat mustahil. Eksport padi organik pada tahun ini baru mencapai sekitar 18 ton. Angka ini jauh lebih kecil dari eksport padi organik Kamboja, dimana pada tahun ini saja sudah mengekspor beras organik sebanyak 75 ton. Tentu saja dibandingkan Thailand dan India yang sudah terlebih dahulu masuk ke pasar ekspor, capaian Indonesia belum ada apa-apanya.
Risiko melayunya inisiatif petani kecil
Dasar pemikiran dibalik kebijakan mengatur pasar adalah melindungi konsumen dari produk pertanian organik yang manipulatif. Oleh sebab itu pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang standard sistem pangan organik, sertifikasi dan pelabelan produk pertanian organik. Pertanyaannya adalah apakah standard, sistem sertifikasi dan pelabelan yang ada membuat konsumen terlidungi dan proses produksi tetap termotivasi?
Pengaturan yang tidak tepat terhadap pasar yang belum berkembang dikuatirkan justru akan membunuh perkembangan yang sudah ada. Perlu diketahui bahwa pertanian organik selama ini berkembang justru karena adanya penghormatan kepada keunikan lokal yang akan mati karena standarisasi. Pengaturan yang ada saat ini dikuatirkan pada satu sisi membuat sistem yang dikembangkan tidak dapat diakses petani, dan pada sisi lain tidak sesuai dengan kebutuhan konsumen.
Sistem yang sekarang dikembangkan pemerintah mensyaratkan penggunaan label (sertifikat organik) kepada seluruh produk pertanian yang diperdagangan sebagai produk pertanian organik. Sertifikat tersebut dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi yang diakreditasi pemerintah. Produk hanya bisa mendapat sertifikat jika produk tersebut diproduksi menurut standard pangan organik yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Ada tiga kesulitan utama yang dihadapi petani dan konsumen untuk memenuhi sistem tersebut:
- Petani mengalami kesulitan memenuhi standard yang ditetapkan. Bukan karena sulitnya memenuhi standard teknis berproduksi tetapi memenuhi standard administrasi yang disyaratkan. Misalnya ketika petani harus mencatat seluruh kegiatan yang dilakukannya, atau untuk mendapatkan kwitansi untuk pembelian benih, pestisida atau pupuk organik dari tetangganya.
- Petani tidak mampu membayar biaya sertifikasi. Sertifikat berlaku untuk satu unit produksi dan musim. Biaya sertifikasi antara 5-10 juta rupiah per sertifikasi. Rasanya dengan kisaran biaya sertifikasi sebesar itu tidak mungkin petani dengan lahan di bawah 5 hektar merasa terdorong untuk berorganik.
- Harga di tingkat konsumen akan menjadi lebih mahal karena adanya biaya sertifikasi.
Alih-alih mengembangkan pertanian organik. Strategi Go Organic 2010 yang berbasis regulasi pasar ini dikuatirkan justru akan membunuh inisiatif bertani dan mengkonsumsi produk organik yang sudah ada.
Go organic pangan Indonesia
Belajar dari tahapan perkembangan prioritas regulasi di negara-negara maju maka pemerintah seharusnya memulai pembangunan pertanian organik dengan kebijakan yang mendukung produksi misalnya dengan mendukung penyediaan sarana produksi, memberikan jaminan harga ketika melakukan transisi dari sistem konvensional ke bertani organik, dan juga menjamin harga dasar premium.
Dukungan terhadap proses produksi akan mendorong banjirnya produk pertanian organik di pasar. Jika produk sudah membanjir, maka akan ada kompetisi atas kualitas. Pada saat itu petani dan konsumen akan terdorong untuk merumuskan standard. Inilah yang seharusnya dijadikan standard pangan organik.
Program Go Organic sebaiknya tidak ditujukan untuk menjadikan Indonesia sebagai produser dan eksporter utama tanaman pangan organik. Target seharusnya adalah menjamin ketahanan pangan rakyat Indonesia secara berkelanjutan. Oleh sebab itu Go organik seharusnya lebih memfokuskan kepada upaya-upaya menyuburkan lahan pertanian Indonsesia sehingga produk pangan dan ketahanan pangan bisa berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar