Beberapa minggu belakangan ini Kompas banyak mengangkat topik yang berhubungan dengan pangan dengan pesan utamanya adalah pentingnya membangun kedaulatan pangan. Diantara sekian banyak berita yang berhubungan dengan pangan tersebut ada tiga berita yang terkait dengan pertanian organik. Berita pertama tentang ekspor beras organik yang pertama sekali dilakukan oleh Indonesia, kedua tentang disetujuinya oleh Komisi IV DPR alokasi anggaran tahun 2010 sebesar Rp 6,2 triliun untuk pengembangan pupuk organik, dan ketiga tentang praktek perdagangan adil (fair trade) yang dilakukan sang pengeksport beras organik (Emily Sutanto, Kompas 4 September 2009) dalam berdagang dengan petani.
Revolusi pertanian organik:
Ketiga berita ini mengindikasikan sedang terjadi revolusi pertanian organik di sektor pembangunan pertanian.
Kepercayaan akan pembangunan pertanian yang berbasis teknologi import atau yang populer disebut “revolusi hijau” telah runtuh. Sebuah kepercayaan baru telah lahir. Kepercayaan tersebut adalah pertanian organik. Pertanian Organik dipercaya sebagai solusi dari masalah pembanguan yang dihadapi bangsa. Seperti sudah banyak dilaporkan, revolusi hijau tidak hanya gagal mempertahankan produksi pangan, tetapi lebih jauh mengancam keberlanjutan penghidupan. Banyak penelitian membuktikan bahwa revolusi hijau telah melahirkan persoalan dengan kelestarian alam, ketergantungan petani terhadap teknologi import, tidak berkembangnya indigenous knowledge, berkembangnya mata rantai perdagangan yang tidak adil, dan melahirkan banyak persoalan yang berhubungan kesehatan, pencemaran, dan sebagainya. Sebagai solusi, pertanian organik tidak hanya menyelesaikan persoalan yang diakibatkan revolusi hijau tetapi juga merehabilitasi kerusakan-kerusakan yang sudah terjadi sehingga lebih menjamin keberlanjutan ketersedian pangan dan kehidupan.
Langkah beralih ke pertanian organik secara nasional sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2000 ketika Departemen Pertanian mengumandangkan slogan pembanguan pertanian yang disebut Go Organic 2010. Namun langkah-langkah revolusioner baru terberitakan sekarang.
Ekspor pertama beras organik merupakan sebuah aksi revolusioner, sebab untuk dapat mengekspor beras Memperindag sampai harus mengeluarkan Permendag No. 35/M-DAG/PER/8/2009. Namun langkah yang lebih revolusioner adalah dipraktekkannya sistem perdagangan yang adil (fair trade) dalam eksport beras organik tersebut. Model perdagangan fair trade merupakan model perdagangan yang dipopulerkan oleh para pengkritik perdagangan bebas (free trade) sebab perdagangan bebas telah mengakibatkan petani miskin dan negara miskin semakin tak berdaya di pasar, dipermainkan oleh pedagang besar dan negara maju.
Gerakan Fair Trade lahir tahun 40-an ketika sekelompok konsumen di negara bekas penjajah merasa prihatin atas kehidupan masyarakat desa di negara bekas jajahan mereka. Keprihatinan tersebut diwujutkan dengan membangun sebuah perdagangan dimana dalam perdagangan tersebut kesejahteraan produser juga menjadi perhatian. Gerakan ini semakin menguat seiring dengan semain dominannya kepercayaan negara-negara akan free trade atau perdagangan bebas. Gerakan fair trade diawali dengan perdagangan kerajinan dan kemudian komoditas pertanian. Fair trade adalah sistem perdagangan yang memperhatikan aspek keberlanjutan produser, kesejahteraan buruh, dan kelestarian alam. Dalam sisten perdagangan fair trade harga yang disepakati mencakup komponen penguatan petani, biaya produksi, dan kelestarian alam. Jika diperlukan, untuk biaya produksi juga akan dibayar di awal sebahagian oleh pembeli (dalam hal ini pedagang). Dalam perdagangan melalui pasar fair trade, hubungan antara produser dan pedagang diikat dengan kontrak perjanjian dengan harga minimum yang baik, dengan masa kontrak yang panjang (lebih dari 5 tahun) sehingga memungkinkan petani berpikir untuk membangun penghidupannya tanpa takut akan terjadi pemutusan pembelian ataupun penurunan harga sebab fluktuasi harga yang sangat ekstrim sangat sering terjadi pada komoditas eksport. Untuk masuk ke pasar fair trade maka produk harus terlebih dahulu disertifikasi oleh lembaga sertifikasi fair trade. Sekarang gerakan fair trade juga menjadi gerakan advokasi mereformasi WTO dan praktek-peraktek curang dan standard ganda (memaksa negara miskin meliberalisasi pasarnya sementara mereka sendiri semakin protektif) yang dilakukan oleh negara-negara industri seperti US, EU, dan Jepang. Inisiatif eksporter (pedagang) mempraktekan perdagangan yang adil ini jelas merupakan sebuah langkah revolusioner.
Langkah revoluioner yang lain adalah alokasi subsidi pupuk langsung kepada petani. Jika skema-skema subsidi pupuk sebelumnya diberikan kepada produser pupuk, maka skema subsidi yang sekarang digunakan adalah pemberian subsidi langsung kepada petani dalam bentuk alat pengolahan pupuk organik, pengadaan ternak sapi dan bantuan langsung. Skema ini tidak hanya secara langsung mendorong berkembangnya praktek pertanian organik tetapi juga mendorong pembangunan pedesaan lebih luas. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Pertanian melalui media masa, subsidi tersebut akan digunakan untuk membangun 10.000 unit usaha pupuk organik, dan mengadakan 350.000 ekor sapi. Jika tahun pertama saja ada 350.000 ekor sapi maka pada tahun kedua sapi tersebut akan bertambah menjadi 700.000 ekor dan seterusnya. Dan jika tahun depan subsidi sebesar yang sama diberikan maka dalam waktu 7 tahun 70.000 desa yang terdapat di Indonesia sudah bisa memiliki sentra pengolahan pupuk, dan paling tidak ada lebih dari 50.000 desa pada tahun kelima sudah memiliki lebih dari satu unit sentra pengolahan pupuk. Ini jelas bisa lebih pendek lagi jika tidak hanya subsidi pupuk yang dialihkan untuk mendukung pembangunan desa-desa organik tersebut tetapi dukungan-dukungan PNPM mandiri yang besarnya 16 triliun pada tahun 2010 bisa dikoordinasikan. Tentu saja pilihan jenis ternak bisa dikombinasi dengan hewan besar lainnya. Pupuk organik yang ada akan mendukung proses produksi tanaman pangan sementara sapi sendiri telah menjadi tabungan bagi petani yang jumlahnya akan bertambah dari tahun ke tahun. Sapi juga dapat memproduksi susu, dan jika dijalankan dengan konsisten maka secara revolusiober kedaulatan pangan yang berkelanjutan akan bisa dicapai tahun 2015. Pada tahun tersebut setiap desa di Indonesia sudah memiliki pusat pembuatan pupuk organiknya sendiri untuk produksi pangannya, dan juga memiliki tabungan dalam bentuk sapi yang bisa memproduksi susu, daging, alat bantu produksi dan juga bisa menghasilkan anak sapi.
Langkah-langkah revolusioner ini harus diteruskan walaupun masa kerja kabinet Indonesia Bersatu berakhir. Siapapun yang menjadi menteri pertanian di masa mendatang, revolusi pertanian organik ini harus dilanjutkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar